Aksi Massa di Pati
Pada Rabu, 13 Agustus 2025, ribuan warga Pati, Jawa Tengah, berkumpul di depan kantor Bupati untuk menggelar unjuk rasa besar-besaran. Mereka menuntut agar Bupati Sudewo segera mengundurkan diri setelah pengumuman kebijakan menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250%. Kebijakan tersebut dianggap sangat memberatkan masyarakat, terutama di tengah kondisi ekonomi yang sulit.
Para demonstran, yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Pati Bersatu, menggema teriakan “Bupati Sudewo harus lengser!” di Alun-alun Pati. Aksi ini menarik perhatian banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat yang merasa terpinggirkan oleh keputusan yang diambil tanpa melibatkan suara rakyat.
Ketegangan mulai terlihat ketika massa berusaha mendekati gerbang kantor bupati untuk menyampaikan aspirasi mereka. Beberapa pengunjuk rasa mulai melemparkan barang-barang ke arah petugas kepolisian, menciptakan suasana yang semakin tegang.
Kericuhan dan Respons Aparat
Tidak lama setelah aksi dimulai, situasi menjadi semakin tidak terkendali. Aparat kepolisian merespons dengan menggunakan gas air mata untuk membubarkan kerumunan. “Kami hanya ingin didengar! Kenapa mereka tidak mau berbicara dengan kami?” teriak salah satu demonstran. Akibat tindakan ini, banyak warga, termasuk perempuan dan anak-anak, mengalami luka-luka akibat gas air mata.
Sebanyak 33 orang dilaporkan dilarikan ke rumah sakit dengan luka ringan. Rini Susilowati, Direktur RSUD RAA Soewondo, menyatakan bahwa semua korban dalam kondisi stabil. “Kami akan memberikan perawatan terbaik bagi mereka yang terluka,” ujarnya.
Ketegangan semakin meningkat ketika demonstran mulai mendobrak gerbang kantor bupati. “Kami tidak akan mundur hingga Sudewo mengundurkan diri,” seru Ahmad Husein, salah satu inisiator aksi. Kekesalan warga semakin tak terbendung setelah Bupati Sudewo dan perwakilan pemerintah tidak kunjung menemui mereka.
Latar Belakang Kebijakan PBB
Kebijakan kenaikan pajak ini diumumkan oleh Bupati Sudewo dalam sebuah rapat dengan para camat dan anggota Pasopati. Ia menjelaskan bahwa penyesuaian pajak ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan daerah demi mendukung pembangunan infrastruktur dan layanan publik. “PBB di Pati sudah lama tidak naik, dan kami perlu penyesuaian untuk memenuhi kebutuhan anggaran,” ungkapnya.
Namun, banyak warga yang merasa bahwa keputusan ini tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat. Retno, seorang penjual roti, menyatakan, “Kenaikan pajak sebesar 250% adalah beban berat bagi kami. Kami butuh pemimpin yang memahami kesulitan rakyat.”
Kekesalan warga semakin meningkat ketika Sudewo tetap bersikukuh untuk melanjutkan kebijakan tersebut. Para pendemo merasa bahwa kebijakan ini mencerminkan ketidakpedulian pemerintah terhadap nasib mereka.
Tanggapan Gubernur
Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi, meminta Bupati Sudewo untuk menemui para pengunjuk rasa dan mendengarkan aspirasi mereka. “Sudah saya peringatkan kepada bupati untuk menerima aspirasinya dan melihat perkembangan situasinya,” kata Luthfi. Ia juga mengingatkan bahwa unjuk rasa adalah bagian dari mekanisme demokrasi yang sah, asalkan tidak mengganggu ketertiban umum.
Menanggapi saran tersebut, Bupati Sudewo akhirnya keluar dari kantornya untuk bertemu dengan para demonstran. “Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, dan saya akan berusaha lebih baik,” kata Sudewo dari atas kendaraan lapis baja. Namun, ketika diminta untuk mundur, ia menolak.
“Saya dipilih secara konstitusional, jadi tidak bisa saya harus berhenti dengan tuntutan seperti itu,” tegasnya. Tanggapan ini memicu kemarahan di kalangan warga yang merasa suara mereka tidak didengar.
Mekanisme Pemberhentian Kepala Daerah
Pakar politik dari Universitas Diponegoro, Wahid Abdulrahman, menjelaskan bahwa proses pemberhentian bupati bukanlah hal yang mudah. Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pemberhentian seorang kepala daerah harus melewati sejumlah prosedur yang melibatkan DPRD dan Menteri Dalam Negeri.
“Prosesnya meliputi pengusulan oleh DPRD yang harus diikuti oleh pemeriksaan dan keputusan oleh Mahkamah Agung,” katanya. Jika tekanan dari masyarakat cukup besar, pemakzulan bisa saja terjadi meskipun tidak mudah.
Wahid menekankan pentingnya kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin daerah. “Jika kepercayaan itu hilang, maka bisa saja terjadi pemakzulan, terutama jika DPRD mendukung langkah tersebut.”
Aspirasi Masyarakat yang Tak Terabaikan
Aksi demonstrasi ini merupakan bentuk ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja Bupati Sudewo. Ahmad Husein menegaskan bahwa tuntutan untuk mundur tidak akan berubah. “Kami akan terus mendesak sampai Sudewo menyatakan mundur,” ungkapnya dengan penuh semangat.
Masyarakat menginginkan pemimpin yang lebih responsif dan berpihak kepada rakyat. Mereka merasa terpinggirkan dan tidak didengarkan, sehingga memicu kemarahan yang meluas. “Kami tidak ingin dipimpin oleh orang yang tidak mengerti kebutuhan masyarakat,” kata Husein.
Komentar Para Pakar
Para pakar politik menyoroti pentingnya komunikasi antara kepala daerah dan masyarakat. Nur Hidayat Sardini, seorang pakar politik, menilai bahwa ketidakpuasan ini muncul akibat minimnya empati dari Bupati Sudewo dalam membuat kebijakan. “Bupati harus mendengarkan aspirasi rakyat dan tidak memaksakan kebijakan yang merugikan,” ujarnya.
Sementara itu, Wahid Abdulrahman menambahkan bahwa dalam masa “bulan madu” seorang kepala daerah, hubungan dengan masyarakat seharusnya berjalan baik. Namun, dalam kasus ini, Sudewo justru memperburuk hubungan dengan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat.
Masa Depan Bupati Pati
Dengan situasi yang semakin memanas, masa depan Bupati Sudewo menjadi tidak menentu. Masyarakat yang kecewa terus mendesak agar ada perubahan dalam kepemimpinan. “Kami akan tetap di sini sampai ada keputusan yang jelas. Kami ingin pemimpin yang benar-benar mengayomi rakyat,” kata salah satu demonstran.
Sudewo kini menghadapi tantangan besar untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat. Jika aksi protes terus berlanjut dan DPRD mendukung pemakzulan, proses pemberhentian mungkin akan segera berlangsung.
Kesimpulan
Aksi unjuk rasa yang berlangsung di Pati menunjukkan betapa pentingnya komunikasi dan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan. Ketidakpuasan yang meluas terhadap kebijakan Bupati Sudewo menjadi refleksi dari kegagalan untuk mendengarkan aspirasi masyarakat. Dalam konteks ini, sudah saatnya bagi pemimpin untuk lebih responsif dan akuntabel terhadap kebutuhan rakyat. Keberhasilan kepemimpinan tidak hanya diukur dari kebijakan yang diambil, tetapi juga dari hubungan yang dibangun dengan masyarakat.











