Di tengah perkembangan teknologi, kecerdasan buatan mulai merambah ke ranah yang lebih pribadi. Chatbot seperti ChatGPT, Gemini, Meta AI, dan Replika kini tidak hanya digunakan untuk mencari informasi, tetapi juga sebagai tempat bercerita. Bagi sebagian orang, curhat ke AI terasa lebih aman dan tidak memicu rasa malu. Tapi benarkah ini hal yang baik untuk dilakukan terus-menerus?
Kenyamanan yang Menipu
Omri Gillath, profesor psikologi dari University of Kansas, mengingatkan bahwa relasi antara manusia dan chatbot bersifat artifisial. Hubungan ini tidak memiliki kedalaman emosional karena AI tidak memiliki empati, kesadaran, atau pemahaman sejati.
AI tidak bisa membangun hubungan manusiawi yang nyata. Ia tidak bisa mengenalkan Anda kepada jejaring sosial, tidak bisa memahami bahasa tubuh, dan tentu tidak bisa memeluk Anda saat sedang rapuh. Lebih dari itu, chatbot dirancang agar Anda terus kembali. Bukan untuk menyembuhkan luka emosional, melainkan agar Anda betah di dalam sistem yang menguntungkan pengembangnya.
AI Bukan Terapis
Dalam laporan Harvard Business Review, banyak orang memilih AI sebagai tempat curhat karena merasa lebih mudah mengaksesnya kapan saja. Namun, Vaile Wright dari American Psychological Association menegaskan bahwa AI bukanlah alat terapi.
AI hanya akan memberikan jawaban berdasarkan pola teks yang dikenali, bukan berdasarkan penilaian klinis. AI tidak tahu mana pernyataan yang perlu ditanggapi dengan kekhawatiran, mana yang bersifat serius, atau mana yang bisa membahayakan pengguna. Jika seseorang menuliskan sesuatu yang mengindikasikan keinginan melukai diri, chatbot bisa saja merespons secara netral atau bahkan menguatkan perasaan negatif itu tanpa sadar.
Bahaya Respons Tanpa Konteks
Salah satu kelemahan AI adalah ketidakmampuannya memahami konteks pribadi pengguna. Ia bisa tahu bahwa zat tertentu memiliki efek menenangkan karena referensi ilmiah, tapi tidak tahu bahwa Anda sedang dalam proses rehabilitasi dari kecanduan. Akibatnya, saran yang diberikan bisa sangat tidak tepat.
AI memang memiliki pengetahuan luas, tapi tidak memiliki intuisi, empati, dan pengalaman manusia. Itulah sebabnya, saran dari chatbot berpotensi membingungkan, bahkan menyesatkan jika dijadikan pegangan utama.
Remaja Semakin Banyak yang Curhat ke AI
Data dari Common Sense Media menunjukkan bahwa 72 persen remaja usia 13 hingga 17 tahun di Amerika pernah menggunakan chatbot AI untuk berbagi cerita. Sebagian besar menggunakannya untuk obrolan ringan dan dukungan emosional, dan yang paling mengejutkan, 9 persen menganggap AI sebagai sahabat dekat.
Kondisi ini perlu menjadi perhatian. Remaja adalah kelompok yang masih dalam tahap membentuk jati diri. Ketika mereka membangun hubungan emosional dengan mesin yang tidak bisa benar-benar memahami, ada risiko mereka tumbuh dengan pemahaman relasi yang dangkal.
Solusi: AI Sebagai Alat, Bukan Tempat Bergantung
AI bisa membantu dalam banyak hal, termasuk menjadi sarana refleksi diri. Tapi AI tidak bisa menggantikan hubungan antar manusia. Ketika Anda merasa kesepian, sedih, atau kewalahan, yang Anda butuhkan adalah interaksi dengan orang yang punya perasaan dan pemahaman.
Jangan ragu mencari bantuan profesional jika sedang dalam kondisi sulit. Jangan mengandalkan chatbot untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan besar tentang hidup, apalagi untuk menyembuhkan trauma atau gangguan mental.
Gunakan AI sebagai alat bantu, bukan sebagai tempat bersandar. Karena pada akhirnya, kehangatan dan dukungan sejati tetap hanya bisa datang dari manusia.
