Jakarta – Dalam dunia yang makin terdigitalisasi, ternyata yang mulai terdampak bukan cuma pekerjaan manusia, tapi juga cara kita ngomong. Sebuah studi dari Max Planck Institute di Jerman mengungkap hal menarik: sejak ChatGPT diluncurkan, manusia mulai meniru cara AI berbicara. Yang berubah bukan cuma tulisan, tapi cara kita menyusun kalimat, memilih diksi, bahkan cara menyampaikan pendapat secara lisan.
Peneliti menyebutnya sebagai fenomena “GPT words” – yaitu kata-kata yang sering digunakan oleh ChatGPT dan kemudian ikut menyebar ke percakapan manusia. Beberapa contohnya dalam bahasa Inggris adalah meticulous, comprehend, delve, bolster, dan realm. Ini adalah kata-kata yang sebelumnya jarang muncul di percakapan sehari-hari, tapi kini mulai terdengar di podcast, video YouTube, hingga ruang diskusi publik.
Dalam riset mereka, para peneliti memproses jutaan teks menggunakan ChatGPT, lalu membandingkan frekuensi kata-kata itu dengan isi 360 ribu video dan 771 ribu podcast, baik sebelum maupun sesudah AI ini diluncurkan. Hasilnya jelas: manusia mulai berbicara seperti ChatGPT.
Indonesia: Terpapar Tanpa Sadar
Mungkin kamu berpikir, itu kan di luar negeri. Tapi di Indonesia, efeknya sudah terasa. Terutama di lingkungan profesional, kampus, industri startup, hingga komunitas konten kreator. Gaya bicara yang formal, sistematis, dan penuh istilah teknokratis makin sering digunakan.
Contohnya:
- “Kita perlu mengoptimalkan sinergi tim lintas fungsi”
- “Strategi ini bertujuan untuk mencapai keberlanjutan jangka panjang”
- “Penting untuk memahami konteks secara komprehensif”
Kalimat-kalimat ini terasa familiar? Mungkin kamu dengar di ruang meeting, webinar, atau konten TikTok edukatif yang pakai teks panjang. Dan besar kemungkinan, gaya ini muncul karena bantuannya ChatGPT.
GPT Words Versi Indonesia
Berikut adalah beberapa kata atau frasa dalam bahasa Indonesia yang punya gaya mirip “GPT words”, sering muncul di output AI dan mulai kita pakai:
GPT Words Lokal Makna Umum Nuansa Menganalisis Membahas secara dalam Akademik Mengimplementasikan Menerapkan Proyek/kebijakan Strategis Bernilai tinggi/taktis Korporat Optimalisasi Memaksimalkan hasil Teknis Kolaboratif Kerja sama Progresif Berkelanjutan Tidak putus/terus-menerus Agenda global Relevan Sesuai konteks Cerdas-sopan Mendasar Esensial/fundamental Serius-objektif Diperkuat Dibuat lebih kuat Retoris AI banget Inklusif Merangkul semua pihak Woke-friendly
Tanpa disadari, kalimat seperti “perlu pendekatan sistematis untuk menguatkan dampak keberlanjutan” menjadi standar baru dalam komunikasi profesional. Masalahnya, apakah ini benar-benar cara kita berpikir, atau cuma hasil copy-paste dari AI yang kita anggap pintar?
Risiko: Bahasa Jadi Topeng?
Bahasa AI memang rapi, logis, dan efisien. Tapi juga dingin, datar, dan sering terasa seperti naskah pidato birokrat. Ketika terlalu sering digunakan, gaya bahasa ini bisa jadi topeng: membuat kita terlihat pintar, padahal sebenarnya hanya ikut arus.
Lebih parah lagi, banyak anak muda kini belajar menulis esai, skripsi, bahkan bio dating apps dengan gaya ChatGPT. Alhasil, muncul generasi yang bicara dalam kalimat template, penuh istilah canggih tapi kosong makna emosionalnya.
Apa Kita Kehilangan Suara Asli?
Bahasa adalah cerminan cara berpikir. Kalau kita bicara seperti ChatGPT, apakah itu berarti kita juga mulai berpikir seperti algoritma? Objektif, netral, tidak emosional, dan selalu “sopan dalam kerangka sistem”. Apakah itu evolusi, atau bentuk baru dari ketundukan intelektual?
Pertanyaan yang menarik bukan cuma tentang teknologi, tapi tentang identitas. Kalau semua orang mulai terdengar seperti AI, lalu siapa yang masih terdengar seperti manusia?
Penutup
Fenomena penularan gaya bahasa dari AI ke manusia kini nyata, tidak hanya terjadi di luar negeri, tapi mulai masuk ke cara kita berbahasa di Indonesia. ChatGPT, sebagai alat bantu berpikir dan menulis, punya pengaruh yang besar. Tapi di balik semua itu, kita tetap perlu bertanya: apakah kita masih menggunakan bahasa untuk mengekspresikan diri, atau sekadar meniru mesin yang kita anggap lebih pintar?
Kalau kamu merasa belakangan ini sering pakai kata “strategis” atau “mengimplementasikan” di tiap percakapan, mungkin sudah saatnya rehat sebentar. Tanya ke diri sendiri: kamu lagi ngomong sebagai manusia, atau lagi nge-roleplay jadi ChatGPT?
