Kecerdasan buatan makin hari makin menyusup ke setiap aspek hidup. Dari pekerjaan sampai kehidupan pribadi, banyak orang kini menyerahkan urusan berpikir kepada AI seperti ChatGPT, Gemini, atau DeepSeek. Semua terasa instan, efisien, dan praktis. Namun di tengah euforia ini, muncul satu ironi besar. Sam Altman, CEO OpenAI sekaligus sosok di balik ChatGPT, justru merasa aneh melihat orang-orang begitu percaya pada ciptaannya.
“Orang-orang memiliki tingkat kepercayaan sangat tinggi terhadap ChatGPT, yang sebenarnya menarik, karena AI berhalusinasi,” kata Altman dalam wawancara yang belakangan jadi perbincangan. Menurutnya, AI tidak seharusnya dipercaya begitu saja, apalagi digunakan sebagai sumber kebenaran mutlak.
AI Bisa Pintar, Tapi Bukan Tanpa Cela
AI seperti ChatGPT tidak benar-benar tahu apa yang sedang dibicarakannya. Ia hanya memprediksi kata dan kalimat berdasarkan pola dari data yang pernah dilatih sebelumnya. Ketika Anda meminta definisi dari istilah fiktif yang bahkan tidak ada di dunia nyata, ia tetap akan merespons. Bukan karena tahu, tetapi karena diprogram untuk selalu memberi jawaban, walau hanya untuk menyenangkan pengguna.
Fenomena ini disebut halusinasi AI. Masalah ini bukan hal sepele. Dalam konteks pencarian informasi, kesalahan kecil bisa menimbulkan pemahaman yang menyesatkan, terutama jika pengguna tidak kritis dan menganggap jawaban AI selalu benar.
Studi MIT: AI Bisa Memengaruhi Otak Penggunanya
Bukan hanya persoalan akurasi, ternyata penggunaan AI juga berdampak pada performa kognitif manusia. Sebuah studi dari MIT Media Lab berjudul Your Brain on ChatGPT menemukan bahwa kelompok yang menulis menggunakan bantuan AI mengalami penurunan fungsi otak secara signifikan. Peneliti mengamati penurunan konektivitas pita alfa, bagian otak yang berkaitan dengan ingatan, bahasa, dan konsentrasi.
Sementara itu, kelompok yang menulis tanpa bantuan teknologi justru menunjukkan performa kognitif yang lebih stabil. Fakta ini menunjukkan bahwa kebergantungan pada AI bukan hanya soal kenyamanan, tapi bisa mengikis kemampuan berpikir.
Kalau Bosnya Saja Meragukan, Kenapa Kita Justru Yakin?
Pertanyaan ini layak direnungkan. Jika pencipta teknologi AI sendiri menyarankan agar kita jangan terlalu percaya, mengapa sebagian orang justru menggunakannya sebagai penentu akhir? Masalahnya bukan pada AI sebagai alat, melainkan pada cara manusia memosisikannya. AI seharusnya menjadi mitra berpikir, bukan pengganti nalar.
Mengandalkan AI untuk membantu menulis, menyusun strategi, atau menjawab pertanyaan tidaklah salah. Yang salah adalah ketika kita berhenti mengecek, berhenti berpikir ulang, dan membiarkan teknologi mengambil alih kemampuan refleksi manusia.
Jangan Berhenti Jadi Manusia yang Bertanya
Kita sedang hidup di zaman ketika berpikir bisa didelegasikan, tetapi bukan berarti harus dilupakan. Kritis terhadap AI bukan berarti menolak teknologi. Justru dengan sikap kritis, kita bisa memanfaatkannya dengan lebih bijak. Jadikan AI sebagai alat bantu, bukan tempat bersandar sepenuhnya.
Karena pada akhirnya, AI tidak akan menggantikan manusia yang mampu bertanya, meragukan, dan mencari makna di balik setiap jawaban. Dan bahkan bos ChatGPT pun sepakat dengan itu.











