Simbol “@” hari ini seperti jantung kecil dunia digital. Kita menggunakannya tanpa mikir. Kita tulis saat login, saat mention orang, bahkan jadi bagian dari identitas daring kita. Tapi sebenarnya, kenapa harus “@”? Kenapa bukan titik, koma, atau tanda plus?
Jawaban dari pertanyaan ini berawal dari satu momen penting di tahun 1971. Sebuah keputusan sederhana dari seorang insinyur komputer justru mengubah arah komunikasi global.
Di Keyboard, Tapi Tidak Pernah Dipakai
Simbol “@” bukan barang baru. Ia sudah ada sejak zaman mesin tik, biasa digunakan dalam konteks ekonomi, misalnya “3 item @ $5” yang artinya tiga barang seharga lima dolar per buah.
Namun saat komputer mulai digunakan secara luas, simbol ini tidak punya peran. Ia hadir di keyboard, tapi tidak menyatu dengan sistem operasi, tidak digunakan dalam pemrograman, bahkan tidak dianggap penting. Ia ada, tapi tidak dipakai.
Masalah yang Butuh Solusi: Kirim Pesan Antar Komputer
Ray Tomlinson adalah seorang insinyur di BBN Technologies yang sedang mengerjakan sistem bernama ARPANET, nenek moyang internet. Ia ditugaskan untuk membuat sistem pengiriman pesan antar komputer, yang hari ini kita kenal sebagai e-mail.
Agar pesan bisa terkirim dengan benar, Ray butuh format alamat yang memisahkan siapa penggunanya dan di komputer mana ia berada. Contohnya: alice di komputer bernama host1. Tapi untuk menulis format ini, ia butuh simbol yang memisahkan kedua bagian itu.
Pilihannya Sangat Terbatas
Ray lalu melihat keyboardnya. Ia mencari karakter yang belum dipakai oleh sistem komputer atau pengguna.
- Titik digunakan untuk file (.doc, .txt)
- Garis miring digunakan untuk direktori (/home/user)
- Tanda plus dan sama dengan punya arti khusus di pemrograman
Dia butuh sesuatu yang netral. Karakter yang tidak akan tumpang tindih dengan sistem apa pun. Pilihannya jatuh pada simbol yang selama ini diabaikan: @.
Arti “@” yang Sangat Masuk Akal
Simbol ini tidak punya fungsi dalam sistem komputer. Tapi maknanya jelas. Dalam bahasa Inggris, “@” dibaca “at” yang berarti “di”.
Format seperti username@example.com pun terbaca jelas sebagai “username at example dot com”. Tidak hanya bersih secara teknis, tapi juga mudah dipahami secara logika bahasa.
Ray merasa tidak perlu berpikir panjang lagi. Ini adalah simbol yang tepat.
Keputusan Kecil, Dampaknya Mendunia
Awalnya sistem e-mail hanya digunakan secara internal. Tapi ketika internet mulai digunakan oleh lebih banyak orang, format dengan simbol “@” ikut menyebar. Tidak ada yang merasa perlu mengganti.
Saat Hotmail muncul pada 1996, Yahoo Mail tahun 1997, dan Gmail pada 2004, format ini masih dipertahankan. Semua orang menganggapnya wajar, bahkan intuitif.
Hingga akhirnya, format e-mail dengan simbol “@” menjadi standar tak tertulis yang digunakan miliaran orang.
Simbol “@” Naik Panggung Sosial Media
Era media sosial memberi napas baru untuk simbol ini. Kini “@” tidak hanya menjadi bagian dari alamat e-mail, tapi juga menjadi cara kita memanggil dan menyebut seseorang.
Mau mention teman di Instagram? Pakai “@”. Mau panggil admin di Twitter? Pakai “@”. Bahkan brand dan seleb sekalipun hidup dari nama yang dimulai dengan “@”.
Identitas kita di dunia digital sering kali lebih dikenal lewat nama “@”, bukan nama asli.
Simbol Kecil, Tapi Efeknya Global
Ray Tomlinson tidak berniat menciptakan revolusi digital saat memilih simbol itu. Ia hanya sedang mencari solusi praktis untuk sebuah tantangan teknis.
Tapi pilihan kecil itu menghasilkan perubahan besar. Simbol yang dulunya sepi peminat kini menjadi bagian dari setiap login, setiap mention, setiap akun.
Dan setiap kali kita mengetik simbol “@”, secara tidak sadar kita sedang melanjutkan warisan dari satu keputusan kecil yang mengubah dunia.
