Washington D.C. – Dari “teman” dekat yang diangkat ke posisi strategis di Gedung Putih, Elon Musk dan Donald Trump kini terlibat dalam sebuah duel sengit yang berimplikasi luas. Pertikaian mereka, yang berawal dari perbedaan pandangan atas Rancangan Undang-Undang “One Big Beautiful Bill” (BBB), telah melampaui retorika media sosial, memicu kekhawatiran di pasar keuangan, dan bahkan mengancam program luar angkasa nasional. Ini bukan sekadar drama politik; ini adalah preseden berbahaya tentang bagaimana ego para elite bisa memengaruhi arah kebijakan dan pasar global.
Mula Pecah Kongsi: Dari Fasilitator Efisiensi ke Pengkritik Defisit
Hubungan antara Elon Musk dan Donald Trump pernah menjadi contoh nyata kolaborasi antara inovasi teknologi dan kekuatan politik. Musk, dengan pengaruhnya yang masif di Silicon Valley dan basis pendukungnya yang unik, menjadi aset berharga bagi kampanye Trump. Imbalannya datang pada Januari 2025, ketika Trump menunjuk Musk sebagai Kepala Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE). Posisi ini diharapkan dapat membawa efisiensi radikal ke birokrasi federal, sebuah misi yang sejalan dengan reputasi Musk sebagai “penghancur kemustahilan”.
Namun, visi efisiensi itu menemui batu sandungan bernama “One Big Beautiful Bill” (BBB). RUU ini, yang diusung Trump, diklaim akan mereformasi berbagai sektor dan menghemat anggaran triliunan dolar. Sebaliknya, Musk, yang baru saja mundur dari DOGE pada 30 Mei 2025, melihat RUU ini sebagai bencana fiskal. Baginya, BBB bukan solusi, melainkan pemicu defisit yang lebih parah. Mundurnya Musk, yang diwarnai janji tetap menjadi “teman”, ternyata hanyalah awal dari perang terbuka.
Pada 3 Juni 2025, perang pun pecah. Musk, melalui platform X, tanpa tedeng aling-aling menyebut RUU BBB “menjijikkan” dan mencela pendukungnya sebagai “tak tahu malu”. Ia bahkan berani mengklaim bahwa BBB lebih buruk dari semua kebijakan yang pernah ia tangani di DOGE. Trump, yang dikenal tak pernah mundur dari konfrontasi, membalas di Truth Social. Ia menyindir pengunduran diri Musk dan bersikeras bahwa Musk tahu persis isi RUU tersebut—sebuah klaim yang dibantah Musk dengan tegas, menegaskan ia tak pernah diberi akses dokumen resmi. Perang kata-kata ini bukan sekadar debat; ia adalah perang validasi data dan narasi.
Eskalasi Tanpa Batas: Serangan Personal, Ancaman Subsidi, dan Gejolak Pasar
Intensitas konflik mencapai puncaknya pada 5 Juni. Musk tak gentar. Ia bahkan memberi julukan baru untuk RUU itu: “Slim Ugly Bill”, menyindir anggaran ekstra yang terselip di dalamnya. Lebih jauh, ia meluncurkan serangan personal, menyebut Trump “tidak tahu berterima kasih” dan mengklaim secara bombastis bahwa tanpa dukungannya, Trump tak akan pernah meraih kursi presiden. Ini adalah pukulan telak terhadap narasi Trumpian tentang kekuatan personal dan loyalitas.
Reaksi Trump pun tak kalah tajam. Ia menyebut Musk “gila” dan mengeluarkan ancaman yang paling menghancurkan bagi bisnis Musk: mencabut subsidi pemerintah untuk Tesla dan SpaceX. Ini adalah langkah yang bisa melumpuhkan perusahaan-perusahaan Musk, mengingat ketergantungan mereka pada kontrak dan insentif federal. Trump juga menuding Musk menggunakan ketamin sebagai penyebab ledakan emosinya di media sosial—sebuah tuduhan yang dibantah Musk, meskipun ia mengakui penggunaan ketamin di masa lalu untuk mengatasi stres.
Dalam gelombang amarah, Musk bahkan sempat mengancam akan menghentikan misi SpaceX Dragon yang mengangkut astronot NASA dari Stasiun Luar Angkasa Internasional. Ancaman ini, meskipun kemudian ditarik kembali, menunjukkan betapa konflik personal ini bisa menyeret proyek-proyek strategis nasional ke dalam kekacauan.
Tak hanya itu, Musk juga mengisyaratkan pembentukan partai politik baru untuk menampung suara yang tidak puas dengan status quo politik. Sebuah langkah ambisius yang, jika terealisasi, berpotensi mengubah peta politik AS secara fundamental. Di sisi lain, Trump tetap kukuh pada BBB, mengklaim penolakannya akan memicu kenaikan pajak hingga 68 persen dan kekacauan ekonomi. Dua narasi yang saling bertabrakan, berpotensi menyeret publik ke dalam jurang kebingungan.
Konsekuensi Riil: Saham Tesla Anjlok, Hubungan Putus
Dampak nyata dari drama ini langsung terasa di pasar keuangan. Saham Tesla anjlok signifikan, merosot dari $342 menjadi $295 hanya dalam waktu tiga hari. Kerugian ini adalah bukti konkret betapa sensitifnya pasar terhadap gejolak politik yang melibatkan figur sekuat Musk dan Trump. Trump sendiri, sebagai gestur protes, dikabarkan berniat menjual mobil Tesla miliknya yang baru dibeli beberapa bulan lalu.
Hingga 6 Juni, meskipun tensi mulai mereda, kerusakan sudah tak bisa diperbaiki. Trump menegaskan ia tak ingin berbicara dengan Musk lagi, melabelinya sebagai sosok yang “kasihan” dan memiliki “masalah serius.”
Relasi antara Trump dan Musk, yang dulu diwarnai kedekatan politik, kini telah berubah total menjadi rivalitas terbuka. Perseteruan ini bukan hanya mengungkap benturan ego dua tokoh besar, tetapi juga menyoroti betapa rapuhnya stabilitas kebijakan ekonomi dan politik AS di hadapan dinamika personal para elitnya. Ini adalah sebuah saga yang menegaskan: di era digital, drama individu dapat memicu efek domino yang lebih besar dari yang kita bayangkan.
Melihat betapa rapuhnya aliansi elite ini, apakah kita akan semakin sering menyaksikan “perang” serupa yang lahir dari friksi personal namun berdampak pada skala nasional dan global?